Kajian Ilmiyah
-CATATAN AHMAD SARWAT-
JAKARTA (salam-online.com): Umat Islam di Indonesia
sudah sejak lama memimpikan tegaknya syariat dan hukum Islam. Bahkan
salah satu motivasi kenapa banyak pahlawan gugur di medan perang dalam
masa perjuangan fisik di masa lalu, tidak lain tujuannya agar bisa
tegaknya syariat Islam.
Ketika sudah merdeka pun, putra-putri Islam tetap memperjuangkan
tegaknya syariat Islam lewat parlemen. Bergantian bentuk-bentuk upaya
penegakan syariat itu terus diperjuangkan.
Namun sampai hari ini, sudah lewat enam puluh tahun kita merdeka,
ternyata syariat Islam masih belum tegak di negeri kita seperti yang
dicita-citakan oleh para ulama dan pendahulu kita di masa lalu.
Pandangan Kalangan Anti Syariah
Kalau dihitung-hitung, sebenarnya yang menjadi penghalang utama
kenapa syariat Islam tidak bisa lantas tegak di negeri kita bukan
siapa-siapa. Ternyata justru faktor penolakan dari umat Islam sendiri.
Tegaknya syariat Islam malah berhadapan dengan sebagian besar umat
Islam. Justru mereka itulah yang dengan sangat gigih berada pada posisi
menentang dan sangat anti dengan syariah Islam.
Pokoknya apa pun yang berbau istilah syariah, langsung diveto dan
diberi kartu merah, termasuk nasib perda-perda yang dianggap bernuansa
syariah di masa sekarang.
Padahal sebenarnya sadar atau tidak, kita sudah menjalankan syariat
Islam, bahkan saudara-saudara kita yang ‘anti’ syariah, tanpa sadar
mereka sudah menjalankan syariah Islam.
Buktinya ke mana-mana mereka pakai baju dan celana. Seandainya mereka
anti syariah Islam, maka ke mana-mana mereka pasti telanjang bulat,
persis kambing dan kerbau.
Buktinya mereka menikah dengan sah, meski sering sinis dengan
penegakan syariah. Kalau mereka tidak menjalankan syariah Islam,
pastilah mereka tidak menikah tapi kumpul kebo dan jadi pelanggan rumah bordil.
Buktinya mereka mereka ikut puasa di bulan Ramadhan, meski tetap
sinis dengan syariah Islam. Kalau mereka tidak menjalankan syariah
Islam, seharusnya mereka makan di siang hari pada bulan Ramadhan.
Dan tanpa sadar, pada hakikatnya kita semua sudah mengakui dan bahkan
menjalankan syariah Islam, walaupun masih parsial atau
sepotong-sepotong.
Jadi kendala utama kita tinggal menyempurnakan kekurangannya saja, bukan memulai dari awal. Penyadaran seperti ini penting buat shock theraphy kepada saudara-saudara kita yang sok anti penegakan syariah Islam.
Dan problem terbesar dari penegakan syariah Islam memang bersumber
dari mereka, yaitu saudara kita sendiri yang sebenarnya masih sujud
setidaknya 17 kali sehari semalam kepada Allah SW, dimana dalam doa
ifitiah yang dibaca, ada tersebutkan lafadz, “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah Rabb alam semesta.”
Jadi tugas kita sebenarnya tidak terlalu sulit, karena secara prinsip
dasar, umat Islam di Indonesia sudah mengakui bahwa dia telah berserah
diri kepada Allah SWT. Mana mungkin orang yang sudah menyatakan diri
seperti itu, tiba-tiba jadi penentang utama syariah Islam.
Terjebak Jargon
Salah satu kendala utama kenapa orang anti dengan syariah Islam
adalah karena ‘kalahnya’ kita dari kekuatan kafir. Mereka telah dengan
efektif berkampanye untuk memperburuk citra syariah Islam.
Hal itu bisa kita buktikan dengan mudah. Berapa banyak umat Islam
yang kalau mendengar istilah ‘syariah’, tiba-tibaseolah tersihir dan
merasa phobi, takut, serem, bergidik, dan deg-degan.
Soalnya yang langsung terbayang adalah kapak tajam yang akan memenggal
kepala manusia ala peradaban kuno.
Tapi imej dan opini itulah yang telah berhasil dilakukan oleh
lawan-lawan syariah Islam. Mereka berhasil membuat tulisan, opini,
ajakan, dan tren yang ujung-ujungnya membuat orang takut pada istilah
syariah.
Maka seharusnya kita juga harus punya strategi yang menarik untuk mencuri perhatian khalayak. Kalau sekarang ini mereka sedang phobi
dengan istilah syariah dan sejenisnya, toh kita tidak harus pusing
kepala dan marah-marah sendiri. Mungkin tidak ada salahnya kita
menggunakan istilah lain. Toh, apalah arti sebuah nama, pinjam celoteh
si Shakespiere.
Misal yang sederhana, kita bisa gunakan istilah ‘peradaban maju’
sebagai ganti dari istilah yang terlanjur sudah membuat orang panas
dingin. Kita bisa katakan mari kita bentuk masyrakat yang ‘berperadaban
maju’, dengan tidak menyisakan ruang bagi penipuan, pencurian, termasuk
perzinaan yang sangat hewani itu.
Dan yang dimaksud dengan ‘peradaban maju’ tidak lain adalah tegaknya
syariah Islam, yang isinya bukan hanya potong tangan, rajam, cambuk dan
penggal kepala, tapi memang sepenuhnya berisi kemajuan, keadilan,
kemanusiaan, ketinggian derajat manusia, pemerataan kesejahteraan dan
seterusnya. Silakan teruskan sendiri.
Kecolongan
Dan ada satu hal yang saat ini perlu kita pikirkan bersama, terutama
bagi para ‘pendekar dan penegak syariah Islam’. Seandainya—ini cuma
seandainya saja—tiba-tiba-tiba para penguasa sekuler itu terguling atau
entah dapat hidayah lewat mana, tiba-tiba mereka bilang, “Yah sudah,
sekarang kami sudah taubat, ayo kita gunakan hukum Islam,” lalu apakah
masalah sudah selesai?
Apakah proses penegakan syariah Islam sesederhana itu? Apakah hanya
dengan melengserkan para penguasa sekuler dan kemudian diganti jadi
negara Islam, atau apa lah istilahnya, masalah sudah selesai?
Sementara kita tahu persis bahwasebenarnya masih banyak kendala utama
dan justru esensial sekali, tapi selama ini luput dari perhatian kita.
Perhatian kitaselama ini lebih banyak terkuras untuk memperjuangkan
syariah Islam di level parlemen. Padahal kalau kita cermati dengan hati
lapang dan luas, tetap ada wilayah kerja lain yang sebenarnya jauh lebih
sulit untuk diperjuangkan.
Urusan mengegolkan syariah Islam di parlemen mungkin hanya satu dari
seribu kendala tegaknya syariah Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat kita
kepada teman-teman yang sedang ‘berjuang’ di parlemen dengan menyerap
begitu banyak sumber daya, tapi harus kita akui pe-er besar kita ternyata bukan di parlemen.
Pe-er besar kita justru ada di tengah umat Islam sendiri. Dan
kejadian demi kejadian dalam garis lintasan sejarah seharusnya sudah
cukup untuk menjadi guru besar kita, bahwa kekuasaan bukan berarti
tujuan utama perjuangan. Dan bukan garis finish yang akan kita lewati.
Sebab berapa banyak kekuatan Islam yang pada akhirnya bisa mencapai
puncak kekuasaan, tetapi ujung-ujungnya mereka harus menyerah pada
kenyataan. Ternyata dengan naiknya sebuah kekuatan Islam ke puncak
kekuasaan di suatu negeri, tidak ada kaitanya dengan tegak atau tidak
tegaknya syariah Islam di negeri itu.
Bukankah Erbakan pernah menjadi perdana menteri di Turki? Bukankah
Muhammad Dhia’ulhaq pernah berkuasa di Pakistan? Bukankah Iran dipimpin
oleh para tokoh yang mengaku menegakkan Islam, meski dengan akidah syiah
yang banyak dikritik? Dan bukankah beberapa partai Islam juga telah
menang di berbagai negeri? Bukankah kemenangan mutlak di pemilu telah
pernah diraih FIS di Aljazair dan Refah di Turki serta Jamiat Islami di
Pakistan?
Tanpa mengecilkan peran dan jasa perjuangan mereka, tapi kalau kita
amati, ternyata semua itu tidak selalu ekwivalen dengan tingkat
penerapan syariah Islam. Setidaknya, kehidupan rakyat masih belum
berubah. Yang miskin masih miskin dan yang bodoh tetap bodoh. Utang
negara itu dan tingkat ketergantungan kepada negara adidaya yang
dikuasai lobi yahudi masih tinggi. Produksi dalam negeri negara itu
masih saja rendah, mereka masih menjadi negara yang nyaris 100 persen
bergantung kepada belas kasihan (baca: jerat) negara adidaya.
Atau kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain, misalnyadari
sudut hukum hudud, ternyata kita juga tidak lantas menyaksikan hukum
potong tangan, rajam, dan cambuk berlaku di negara itu. Mengingat bahwa
sebagian teman kita punya pandangan sederhana, bahwa tegaknya syariah
Islam cukup diukur dari pelaksanaan hukum hudud.
Lalu apa yang masih kurang? Dan apa yang salah?
Kalau salah sih tidak juga, dan sebenarnya tidak ada yang salah.
Segala perjuangan untuk mencapai kekuasaan demi memperjuangkan syariah
di level parlemen memang bukan tanpa arti. Kami pun tidak pernah
berpikir untuk mengecilkan peran dan prestasi itu.
Tapi ada satu hal yang mungkin kita sering lupa, yaitu kekuatan
fundamental di landasan yang menjadi fundamen esensial malah seringkali
terlupakan. Fundamen itu adalah penyiapan umat untuk bisa mengenal,
mengetahui, merasakan manisnya, dan merindukan tegaknya syariah Islam.
Itu yang justru selama ini lepas dan luput dari perhatian kita.
Betapa banyak umat Islam yang belum tahu cara berwudhu, yang lainnya
tidak tahu apa saja yang membatalkan shalat. Yang lain masih saja
menikah tanpa wali, atau malah asyik berkampanye untuk poligami. Lima
belas ribuan pertanyaan yang masuk ke database kami cukup untuk
membuktikan hal itu.
Janganlah kita bertanya tentang hal-hal yang lebih dalam dari syariah
Islam. Bahkan hal-hal yang terlalu fundamental sekalipun masih saja
hilang dari daya tahan umat ini. Jadi perang kita ini sebenarnya tidak vis a vis
dengan orang kafir yang memusuhi Islam, tapi ‘perang’ kita ini lebih
banyak untuk melawan ‘kebodohan’ dan ‘keawaman’ umat Islam dari syariah
Islam itu sendiri.
Pelajaran dan kuliah syariah Islam itu boleh dibilang tidak pernah
ada di negeri ini. Sebab pesantren kini sudah mulai kehilangan santri.
Jumlahnya pun amat terbatas.
Kalau pun pernah belajar syariah, umumnya bangsa kita hanya mendapat
porsi yang sangat kecil, yang sama sekali tidak cukup untuk sekadar
bekal hidup, itu pun hanya semata kita dapat sewaktu masih kecil mengaji
di TPA, dengan para pengajar yang tingkat kelimuannya di bidang syariah
yang amat terbatas pula, kalau tidak mau dibilang memprihatinkan.
Walhasil, kendala terbesar kita malahan bukan musuh di luar, tapi
justru ada di dalam diri kita masing-masing. Umat ini tidak pernah
berupaya melahirkan generasi yang setidaknya ‘melek’ syariah.
Ketika teman-teman 20-an tahun yang lalu menggagas berdirinya SDIT
(Sekolah Dasar Islam Terpadu), kami kira nantinya siswa-siswi itu akan
diajarkan tentang syariah Islam secara intensif. Eh, ternyata kami harus
kecewa lagi, karena umumnya tidak ada bedanya dengan SD biasa, kecuali
jam pelajarannya ditambah di sana sini, plus baca Iqro dan sedikit
tahfizd Qur’an.
Maka, otomatis bayarannya juga ‘terpaksa’ bertambah pula. Sampai ada
teman yang memplesetkan singkatan TERPADU menjadi TERpaksa PAkai DUit.
Tapi yang teramat menyedihkan, ternyata SDIT-SDIT itu juga tak pernah
peduli untuk mengajarkan bahasa Arab secara serius. Kalau pun ada,
hanya sampai hadza dan hadzihi, tidak lebih. Yang
jelas, lulus SDIT itu anak-anak kita tetap tidak paham makna bacaan
Qur’an yang dengan fasih dilantunkan, tetap tidak paham ketika
membunyikan tulisan Hadits Nabawi, juga tetap tidak nyambung kalau berkomunikasi dengan teman-temannya dari negeri Islam di Timur Tengah lewat chat. Apalagi membaca rujukan buku syariah Islam. Bisa-bisa mereka bilang kitab-kitab itu salah cetak.
Lantas anak-anak kita mau dibawa ke mana?
Bukan apa-apa, 20 juta komunitas yahudi di dunia ini sudah memastikan
bahwa anak-anak mereka mutlak harus bisa berbahasa Ibrani, karena pada
bahasa itulah mereka bersatu dan memiliki kekuatan. Dan Kitab Talmud itu
berbahasa Ibrani. Mereka bangga dengan bahasa Ibraninya. Dan nyatanya,
tidak ada balita Yahudi kecuali mereka paham dan bisa berkomunikasi
dengan bahasa Ibrani.
Bagaimana dengan kita?
Jangan tanya, kenapa segitu banyak SDIT yang telah kita bangun, malah tidak mengajarkan bahasa Arab?
Padahal syarat mutlak seseorang bisa mempelajari dan memahami syariah
Islam justru ada pada bahasa Arab. Mengingat bahwa Al-Qur’an itu turun
dalam bahasa Arab. Dan mengingat pula bahwaRasulullah saw tidak pernah
berkata-kata kecuali dalam bahasa Arab. Sangat tidak masuk akal kalau
hari ini kita teriak-teriak mau menegakkan syariah Islam, tapi kita
tidak pernah peduli ketika anak-anak kita tumbuh tanpa bisa berbahasa
Arab. Sungguh keterlaluan dan sangat tidak logis.
Kalau generasi terbaik yang kita persiapkan itu sudah sejak awal kita
‘sunat’ dan ‘kebiri’, dengan tidak peduli atas pelajaran bahasa Arab,
maka sudah dipastikan kita inilah jagal-jagal yang membutakan mereka
dari syariah Islam sejak dini.
Akhirnya kita hanya bisa marah-marah dan emosi sendiri, kita tuduh
orang lain bersalah karena tidak mau menerapkan syariah Islam. Padahal
pada hakikatnya kita sendiri yang telah ‘membunuh’ syariah Islam itu
sejak dini.
Mungkin Anda pernah lihat trilogi film khayal ala Hollywood, misalnya
Terminator 1, 2 dan 3. Film itu menggambar musuh-musuh di masa
mendatang melalui mesin waktu datang ke zaman kita untuk membunuh calon
pemimpin masa depan, Jhon Connor. Musuh-musuh yang berupa robot itu
merasa kewalahan menghadapi perlawanan sang jagoan di masa mendatang,
karena itu untuk membunuh sang jagoan, mereka datang ke zaman sekarang
dan ingin membunuh orang tuanya.
Khayalan ala Arnold Schwarzenegger itu sebenarnya sudah terjadi
sekarang ini. Kitalah musuh yang telah ‘membunuh’ generasi mendatang itu
dengan tidak pernah mempersiapkan mereka untuk mengerti syariah Islam.
Salah satu cara ‘keji’ yang tanpa sadar kita lakukan adalah membuat
mereka tetap buta dengan bahasa Arab dan pelajaran syariah Islam.
Apalagi SDIT-SDIT yang kita banggakan itu pun masih asyik dengan
beragam teori pendidikan ala baratnya, dan nyaris sama sekali tidak
punya pengajar bertaraf ulama, yang bisa melahirkan siswa semacam
Al-Imam Asy-Syafi’i yang telah hafal Al-Muwaththa’ ketika lulus SD.
Boro-boro hafal Al-Muwaththa’, lha wong gurunya saja termasuk ummiyin, tidak bisa baca dan tulis Arab. Apalagi bicara dalam bahasa Arab. Kalau pun bisa baca, ya cuma bunyi tapi tidak paham.
Mohon maaf kepada para ikhwah yang punya SDIT atau guru pengajar,
mungkin kami agak kasar, tapi mari kita merenung sejenak yuk, kita ini
mau ke mana sih sebenarnya? Cintakah kita kepada syariah Islam? Kalau
cinta, kenapa kok kita tidak berupaya melahirkan generasi yang mengerti
syariah Islam?
Resep Tegaknya Syariah Islam
Jadi resepnya gampang, mari kita dirikan SDIT yang para pengajarnya
adalah ulama, sehingga muridnya bisa lulus dengan telah mengantungi
ijazah sungguhan, yakni telah membaca dan menelaah sekian puluh
kitab-kitab kuning.
Mari kita urus dengan rapi dan profesional majelis-majelis taklim
kita, baik di masjid mau pun di kantor-kantor. Carilah ulama yang ahli
syariah untuk kita belajar ilmu syariah secara tetap kepada mereka,
syukur kalau bisa sambil buka kitab. Setidaknya kajian syariahnya harus
lebih padat. Jangan cuma melawak melulu. Segar sih segar, tapi kalau
tiap hari melawak melulu, bisa-bisa kita saingan dengan Srimulat.
Semua itu mengerucut pada satu kesimpulan, tegaknya syariat Islam amat bergantung pada seberapa besar porsi ngaji syariah kita lakukan sekarang ini.
Mungkin ada baiknya kalau para ustadz yang terlanjur salah kamar,
balik lagi ke masjid dan jamaah pengajiannya untuk mengajar syariah,
daripada mereka tiap hari ketemu dengan koboi-koboi politik di
lembaga legislatif yang bikin rambut beruban. Serahkan saja pekerjaan
itu pada orang yang ahli di bidangnya, sedangkan para ustadz ini bisa
kembali menyapa jamaah pengajiannya. Sungguh semenjak para ustadz ini
aktif di politik, banyak jamaah pengajian yang bagai anak ayam
kehilangan induknya.
Itu sih sekadar usul, bisa diterima dan boleh saja dicuekin. Namanya juga usul, kadang terdengar usil di telinga.
Wallahu a’lam bishshawab.
________________________________________________________________________________________________________
-Penulis: Ketua Umum Yayasan Daarul Uluum Al-Islamiyah, Staf Pengajar STAN, Alumnus Al Azhar, Kairo